Minggu, 22 April 2012

Ijtihad Umar Ibn Al-Khattab

Ijtihad Umar Ibn Al-Khattab
Studi Tentang Perubahan Hukum dalam Islam
Amiur Nuruddin
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara Medan



PENDAHULUAN


Sejak dari periode awal sejarah Islam, perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya telah diatur oleh Hukum Islam. Aturan-aturan ini pada esensinya adalah religius dan terjalin (inherent) secara religius[1]. Oleh karena itu dalam pembinaan dan pengembangannya selalu diupayakan berdasarkan kepada Al-Qur’an, sebagai wahyu Ilahi yang terakhir kepada manusia, yang pengaplikasiannya untuk sebagian besar dicontohkan dan dioperasionalkan oleh Sunnah Rasulullah.


Al-Qur’an pada mulanya diwahyukan sebagai respon terhadap situasi masyarakat tertentu, yang kemudiannya secara alamiah tumbuh dan berkembang lebih luas, dengan tersebarnya Islam ke berbagai penjuru. Kebanyakan persoalan yang dihadapi kaum Muslimin di masa Rasulullah sudah barang tentu berbeda dengan yang dihadapi oleh generasi-generasi yang datang mengiringinya. Hal ini terjadi di samping karena proses kemasyarakatan yang berjalan terus-menerus, juga disebabkan kontak dan saling mempengaruhi antara umat Islam dan budaya lain yang bersentuhan. Oleh karena Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil hukum-hukum terinci, dan Sunnah yang terbatas pada kasus-kasus yang terjadi di masa Rasulullah, maka untuk memecahkan persoalan-persoalan baru, terutama yang berhubungan dengan persoalan kemasyarakatan (mu’amalah), diperlukan adanya ijtihad. Ijtihad yang merupakan upaya pemikiran maksimal manusia yang dikerjakan secara sungguh-sungguh dalam menemukan dan menerapkan pesan-pesan Tuhan yang termuat atau tersirat pada suatu teks (nash) agama atau preseden, ternyata telah dapat mengaktualkan aturan-aturan Islam pada setiap waktu dan keadaan.


Ijtihad sebenarnya telah berlangsung sejak masa Rasulullah. Banyak sahabat Nabi yang telah berijtihad tentang berbagai persoalan, baik ketika mereka berada disamping Rasulullah, ataupun ketika mereka berjauhan dengan beliau. Terhadap hasil ijtihad yang beliau ketahui secara langsung, ataupun melalui perantara-perantara sahabat-sahabat yang lain, beliau senantiasa menentukan sikap dan kalau perlu memberikan keputusan; ada yang beliau setujui dan ada yang pula yang beliau betulkan. Semangat ijtihad tumbuh subur di kalangan sahabat, karena Rasulullah memang memberi peluang yang besar kepada mereka untuk berijtihad. Di samping itu dalam bentuk tindakan praktis, Rasulullah memberi kesempatan agar sahabat-sahabat berani mengemukakan pendapat, terutama dalam kasus-kasus yang memerlukan pemecahan secepatya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau ada beberapa orang sahabat yang tercatat dalam sejarah, sebagai orang-orang yang sering diajak musyawarah oleh Rasulullah.


Setelah Rasulullah wafat, keperluan kepada ijtihad semakin meningkat. Kalau pada masa Rasulullah, di samping ada ijtihad, berbagai persoalan masih dapat dikembalikan dan dikonsultasikan kepada beliau, tetapi setelah itu keadaannya menjadi lain. Tanggung jawab sepenuhnya untuk memecahkan segala persoalan jelas terpikul kepada ummat yang ditinggalkannya. Kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul pamungkas (khatam al-anbiya wa al-mursalin) Nampaknya difahami mereka secara kreatif. Untuk itulah, mereka dengan segala upaya dan kesungguhan, berijtihad, mencari pemecahan masalah, dengan selalu mengambil inspirasi dan mengakap pesan-pesan universal dari al-Qur’an dan Sunnah. Dalam ijtihad kadangkala terlihat, mereka membawa pemecahan yang berbeda, bukan saja di kalangan mereka, bahkan juga dengan praktek-praktek yang telah berlaku di masa Rasulullah. Dalam sejarah Islam, sahabat yang paling berani berbuat demikian ialah Umar Ibn Al-Khattab.


Umar Ibn Al-Khattab, setelah masuk Islam, membawa perubahan besar terhadap umat Islam. Dukungan yang diberikan oleh Umar kepada Islam, sejak dari awal telah menunjukan hasil yang mengagumkan. Kalau sebelum Umar masuk Islam, ummat Islam masih merasa ketakutan untuk menyatakan keislaman mereka, karena kuatnya ancaman dan tekanan dari kaum musyrikin Mekkah, tetapi setelah beliau mengaku sebagai muslim, ummat Islam mulai berani melaksanakan ajaran agama secara terbuka. ‘Abdullah Ibn Mas’ud, seorang sahabat yang banyak berperan mengembangkan pemikiran Umar[2], menyatakan: “bahwa Islamnya Umar merupakan kejayaan, hijrahnya merupakan pertolongan dan pemerintahannya merupakan rahmat. Sebelum Umar masuk Islam, katanya, kami tidak berani shalat di samping ka’bah. Akan tetapi kemudian setelah beliau masuk Islam dan berhasil memperjuangkan haknya untuk shalat di sana, lalu kamipun shalat bersamanya.[3]


Kalau diperhatikan sepintas lalu, tampaknya kebijakan-kebijakan Umar itu mungkin dipandang “bertentangan” dan “menyimpang” dari perintah al-Qur’an atau Sunnah yang berlaku sebelumnya. Akan tetapi, seperti dikemukakan oleh Ahmad Hasan dalam bukunya The Early Development of Islamic Jurisprudence,[4] bahwa tindakan Umar semacam itu justru bukan merupakan suatu penyimpangan, tetapi berangkat dari ketaatan yang sejati kepada semangat al-Qur’an yang dilakukannya berdasarkan pertimbangan pribadi.


Kerangka pemikiran dalam tulisan ini dikembangkan dari anggapan bahwa generasi-generasi Muslim yang paling awal nampaknya tidak memandang ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah sebagai ajaran-ajaran yang bersifat kaku dan statis. Pada dasarnya ia adalah ajaran-ajaran yang dinamis, bergerak secara kreatif sesuai dengan bentuk sosial yang beraneka ragam. Sebagai salah seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah, Umar memang dapat dijadikan teladan yang tidak diragukan integritasnya terhadap Islam. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa ijtihad Umar untuk sebagian besar telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan pemikiran dalam Islam, terutama dalam bidang Hukum Islam. Maka bila sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Umar telah melakukan sesuatu tindakan dibaca terlepas dari konteks sosialnya, tentu riwayat tersebut akan menjadi sedikit manfaatnya. Akan tetapi bila dapat ditelusuri orde sosial dan difahami kekuatan sosiologis yang menyebabkan Umar berbuat dimikian, maka riwayat tersebut akan mendatangkan arti yang besar bagi perkembangan pemikiran sekarang ini.


LATAR-BELAKANG KEHIDUPAN UMAR


Bahwa Umar Ibn Al-Khattab sebagai salah seorang tokoh terbesar sepanjang sejarah tampaknya diakui oleh Barat dan Timur. H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers dalam Shorter Encycloaedia of Islam menyebutkan, bahwa Umar Ibn Al-Khattab, Khalifah II adalah salah seorang dari tokoh-tokoh terbesar pada permulaan Islam dan pendiri imperium Arab.[5] Hanya disayangkan kedua editor di atas tidak menguraikan latar belakang kehidupan Umar, yang semestinya diperlukan dalam melihat kebesaran seorang tokoh. Kesangsian terhadap banyaknya riwayat-riwayat terinci yang tidak benar, nampaknya dijadikan mereka sebagai alasan untuk tidak melakukan hal tersebut.


Memang, gambaran tentang masa lalu banyak ditentukan oleh hasil rekonstruksi para sejarawan yang tidak lepas dari subyektivitas mereka. Akan tetapi yang dituntut dari setiap rekonstruksi masa lampau ialah agar pekerjaan itu dilakukan dengan jujur, sehingga tidak perlu khawatir dengan riwayat-riwayat yang ternyata dapat diterima oleh pertimbangan logika dan patokan ilmiah. Nampaknya sikap seperti ini menjadi sangat penting sejauh fakta yang dapat dikumpulkan hanya bersumber kepada riwayat-riwayat yang dituturkan dari generasi ke generasi.


Dalam beberapa sumber yang ditulis oleh sejarawan muslim, seperti Ibn al-Asir, Ibn Sa’ad dan Ibn Hajr, garis keturunan Umar bertemu dengan Muhammad Rasulullah pada leluhurnya generasi kedelapan. Penelusuran garis keturunan ini bagi masyarakat Arab bukanlah merupakan hal yang sulit, karena sudah menjadi tradisi masyarakat tersebut untuk mengabadikan urutan garis keturunan dalam syi’ir dan hafalan. Bahkan lebih dari itu, orang-orang yang mempunyai ilmu dalam bidang nasab, yaitu suatu pengetahuan yang membicarakan garis keturunan (silsilah) seseorang atau kelompok masyarakat, dianggap sebagai orang yang mempunyai kedudukan istimewa dan terhormat dalam masyarakat.


Dari berbagai sumber yang menguraikan garis keturunan Umar disebutkan bahwa Umar adalah putra Al-Khattab, Al-Khattab putra Nufail, Nufail putra ‘Abd al-‘Uzza, ‘Abd al-‘Uzza putra Riyah, Riyah putra ‘Abdullah, ‘Abdullah putra Qurth, Qurth putra Rizah, Rizah putra ‘Adi dan ‘Adi putra Ka’ab.[6] Ka’ab mempunyai putra yang lain di samping ‘Adi, bernama Murrah, dan dari Murrah ini silsilahnya menurun sampai kepada Muhammad Rasulullah. Oleh sebab itu garis keturunan Umar dan Muhammad Rasulullah bertemu pada moyang mereka yang bernama Ka’ab. Dilihat dari garis ayah, maka secara Genealogis, yaitu keterikatan satu sama lain karena keturunan yang sama, Umar berasal dari keluarga Bani ‘Adi. Sedang keturunan dari garis ibu, ibunya berasal dari Bani al-Makhzumi, yang bernama Hantamah putri Hasyim Ibn al-Mughirah al-Mukhzumi. Umar dilahirkan di Mekkah dan diperkirakan empat tahun sebelum terjadinya perang Fijar,[7] atau sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad al-Khudari Bek, tiga belas tahun lebih muda dari Muhammad Rasulullah.[8]


Menurut penelitian yang dilakukan oleh dua orang bersaudara, Ali dan Naji al-Thanthawi, terhadap riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Umar dikatakan, bahwa dari keseluruhan hidup Umar yang berakhir dalam usia enam puluh lima tahun (W. 644 M) sebagian yang pertama berada dalam kegelapan, sementara sebagiannya yang kedua penuh dengan kecemerlangan dan peninggalan sejarah yang mengagumkan, yang dimulai sejak ia mengucapkan dua kalimah syahadah dan mengaku sebagai seorang muslim.[9] Sejalan dengan penelitian ini, memang dirasakan ada kesulitan untuk menelusuri dan menulis biografi Umar sejak dari awal, sebagai yang diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, akan tetapi hal ini tidaklah berarti tidak mungkin sama sekali. Pengungkapan kembali hal-hal yang penting dan menonjol, terutama peristiwa-peristiwa pada masa muda Umar dapat diketahui dari ucapan dan pernyataan beliau jauh setelah peristiwa itu terjadi.


Ada dua hal yang nampaknya menjadi perhatian para ahli. Pertama peristiwa yang menyangkut pengalaman Umar sebagai pengembala trnak dan kedua pengalamannya sebagai peniaga. Kedua pengalaman ini nampaknya berpengaruh besar pertumbuhan watak dan kepribadian Umar. Dr. Mahmud Isma’il dalam tulisannya yang berjudul Falsafah al-Tasyri’ ‘inda Umar Ibn Al-Khattab, mengatakan bahwa pengalaman Umar sebagai pengembala unta yang diperlakukan keras oleh ayahnya berpengaruh terhadap temperamen Umar yang menonjolkan sikap keras dan tegas dalam pergaulan. Sedang pengalamannya sebagai peniaga yang sukses, yang membawa barang dagangan pulang pergi ke Syiria, berpengaruh terhadap kecerdasan dan kepekaan serta pengetahuannya terhadap berbagai tabi’at manusia.[10]


Al-Khattab, ayah Umar, dikabarkan adalah salah seorang anggota terkemuka suku Quraisy yang berasal dari Bani Adi. Walaupun ia bukan orang yang tergolong hartawan, namun ia adalah orang yang pintar, berani dan tidak gentar menghadapi peperangan. Dalam perang Fijar, yang terjadi antara suku Quraisy dan kabilah-kabilah lain, ia tercatat sebagai salah seorang yang memperkuat barisan Quraisy. Oleh sebab itu dapat diduga, apabila sebagian dari sifat-sifat dan temperamen ayahnya mengalir kepada Umar. Adanya unsure warisan semacam ini dan didukung oleh bobot tubuh yang memadai nampaknya menempatkan Umar selalu menjadi perhatian banyak orang.


Dr. Muhammad al-Thamawi, seorang dosen dan ketua jurusan Al-Qanun al-‘Am (Perundang-undangan Umum) pada fakultas Hukum Universitas ‘Ain al-Syams, Mesir, telah mencoba mengumpulkan riwayat-riwayat yang menggambarkan kondisi fisik Umar Ibn Al-Khattab. Berdasarkan informasi yang ia peroleh, baik yang berasal dari sumber-sumber klasik maupun ulasan-ulasan yang terdapat pada sumber-sumber modern, diungkapkan bahwa Umar Ibn Al-Khattab mempunyai tubuh yang tinggi dan tegap dengan raut muka yang menarik. Bila dia berjalan, melangkah dengan mantap dan bila dia berbicara, bersuara dengan lantang. Atas dasar sumber yang sama DR. Husein Heikal dalam karyanya, Al-Faruq Umar, menyimpulkan bahwa Umar benar telah mewarisi sifat keras ayahnya, yang kemudian didukung pula oleh kekuatan badannya.


Di samping isyarat-isyarat di atas yang telah memberikan gambaran tentang kepribadian Umar, maka petunjuk lain yang tidak kalah pentingnya ialah sikap Rasulullah sendiri, yang nampaknya, atas dasar pertimbangan yang cukup rasional, mengharapkan keislaman Umar, sebagai salah seorang yang akan memperkuat perjuangan Islam. Ini berarti bahwa Umar memang telah diperhitungkan dan dianggap sebagai orang yang mempunyai pengaruh besar di tengah-tengah suku Quraisy. Lebih dari itu, Umar dikenal pula sebagai seorang yang sangat keras menantang risalah Muhammad Rasulullah.


Kalau ditelusuri lebih cermat, nampaknya, sikap keras Umar bukan saja sebelum ia masuk Islam, tetapi setelah ia masuk Islam juga masih mempunyai sikap yang sama. Di kala Abu Bakr meminta pendapat sahabat-sahabat terkemuka tentang Umar yang akan menggantikan beliau sebagai khalifah, ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf berkata: “Demi Allah, dia (Umar) memang seorang yang terbaik di mata engkau, akan tetapi dia mempunyai sikap yang keras.”[11]


UMAR IBN KHATTAB DAN PERUBAHAN SOSIAL


Dalam melihat faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial, secara garis besar Soerjono Soekanto membaginya kepada dua macam. Ada yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri (faktor Intern) dan ada yang bersumber dan sebagai pengaruh dari masyarakat lain, atau dari alam sekitarnya (faktor ekstern).[12] Yang termasuk faktor intern ialah:


1. Bertambah dan berkurangnya penduduk.


2. Adanya penemuan-penemuan baru


3. Terjadinyan pertentangan (konflik) dalam masyarakat.


4. Timbulnya pemberontakan atau revolusi di dalam masyarakat itu sendiri.


Sementara itu, yang termasuk faktor-faktor ekstern ialah:


1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia.


2. Terjadinya peperangan.


3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.


Agaknya dalam melihat perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada masa Umar kerangka di atas dapat dipergunakan. Untuk mengoperasikan kerangka tersebut diambil hal-hal yang dianggap menonjol, sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi selama masa pemerintahan Umar.


Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (13 H/634 M-23 H/644 M),[13] sebagian besar ditandai oleh penaklukan-penaklukan untuk melebarkan pengaruh Islam. Ia mengendalikan penaklukan itu dari Madinah, sebagai pusat pemerintahannya. Sikap tegas yang sudah terbina sejak dari awal turut mewarnai berbagai kebijaksanaan yang diambilnya. Ia adalah pembaharu (innovator).[14]


Setidak-tidaknya ada tiga faktor penting yang nampaknya ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakannya dalam bidang hukum, yaitu faktor-faktor militer, ekonomis dan demografis.

1. Faktor Militer


Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar adalah merupakan fakta yang diakui kebenarannya oleh para sejarawan. Bahkan ada yang mengatakan, kalau tidaklah karena penaklukan-penaklukan yang dilakukan pada masa Umar, maka Islam belum akan tersebar seperti sekarang.[15] Penaklukan-penaklukan ini sudah barang tentu menuntut adanya mobilisasi besar-besaran dan peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam penanganan personil-personil militer. Untuk kepentingan itu Umar membentuk suatu system organisasi militer yang dapat mendukung system keamanan dan pengendalian wilayah yang kian bertambah luas. Beliau menyetujui saran sahabat-sahabat lainnya untuk mendaftarkan personil militer dalam satu diwan. Dan beliau terkenal akhirnya sebagai orang yang pertama menciptakan lembaga itu.[16]


Dengan adanya diwan ini, beliau telah melangkah lebih maju, yaitu dengan terbentuknya tentara professional, (Jaisy Muhtarif).[17]


2. Faktor Ekonomis


Sebagai akibat lebih lanjut dari penaklukan-penaklukan yang terjadi, maka terbukalah sumber-sumber ekonomi yang tidak diperoleh sebelumnya di tengah-tengah jazirah Arab. Pajak-pajak dari daerah taklukan mengalir ke daerah Madinah. Abu Yusuf melaporkan dari sumber yang berasal dari Sa’ad Ibn Al-Musayyab, bahwa ketika seperlima rampasan perang Persia dibawa ke Medinah, Umar memerintahkan agar diletakan di Mesjid dan menyuruh ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf dan Abdullah Ibn Arqam menjaganya. Setelah pagi hari, barang-barang hasil rampasan itu dibuka tutupnya, maka tampaklah oleh Umar sesuatu yang belum pernah dilihatnya sebanyak itu, berupa emas, perak, intan, dan berlian. Ia lalu menangis. Maka ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Auf berkata: “Sesungguhnya kita bersyukur, tetapi kenapa justru menangis.” Jawab Umar: “Ya, kita bersyukur. Namun suatu kaum yang diberi kekayaan seperti ini, pasti akan menimbulkan permusuhan dan kusumat di antara mereka.


Perubahan yang nyata tampak di sini adalah menjadi pentingnya kedudukan sosial seseorang, oleh karena kedudukan tersebut mempunyai nilai materi. Semakin dekat kepada Rasulullah dan semakin banyak jasanya dalam Islam serta lebih senior pengalaman keislamannya, maka semakin besar pulalah haknya atas tunjangan sosial dari negara. Langkah ini perlu ditempuh oleh Umar karena barangkali masyarakat pada waktu itu sudah jauh berbeda dengan masyarakat pada waktu Abu Bakr. Masyarakat pada masa Abu Bakr walaupun pada awalnya Umar sudah tidak sependapat dengan Abu Bakr masih relatif agak homogen dibanding dengan waktu Umar. Dan itu adalah akibat langsung dari ekspansi Islam yang dilakukan secara besar-besaran.


3. Faktor Demografis


Sebelum penaklukan ke luar jazirah Arab, penduduk negara Islam hanya terdiri dari etnis Arab dan minoritas Yahudi. Walaupun telah terdpat orang-orang Persi yang masuk Islam, namun jumlah mereka belumlah begitu berarti. Berbeda halnya setelah penaklukan, jumlah warga Islam non Arab menjadi bertambah besar, sehingga kelompok-kelompok sosial dalam komunitas Islam semakin beragam dan kompleks.


Bersamaan dengan itu terjadi pula asimilasi antara berbagai kelompok. Terutama setelah dibangunnya kota Kufah sebagai tempat bertemunya berbagai kelompok dan suku baik dari Utara maupun Selatan. Mobilitas penduduk semakin intent. Kota Madinah tidak saja dikunjungi oleh suku suku Arab, tetapi juga oleh orang-orang ‘Ajam. Begitu juga sebaliknya orang-orang Arab mengunjungi, bahkan menetap di Mesir, Syiria, Persi, dan lain-lain. Hal ini jelas menimbulkan kontak budaya antara mereka, sehingga tidak mustahil terjadi saling mengambil dari unsur-unsur kebudayaan masing-masing.


Dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial paling tidak ada dua sikap yang menjadi kunci kesuksesan Umar. Kedua sikap itu ialah: pertama, beradaptasi dengan tantangan baru itu secara kreatif, dan kedua, mengambil suatu pandangan sejarah yang kontekstual.


Kasus-kasus Ijtihad Umar Ibn Al-Khattab


Umar Ibn Al-Khattab adalah salah satu seorang sahabat yang terbesar sepanjang sejarah Islam sesudah Nabi Muhammad. Kebesarannya terletak pada keberhasilannya, baik sebagai negarawan yang bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli, dalam membangun sebuah negara besar yang ditegakan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan dan persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam kedudukannya sebagai mujtahid, Umar termasuk pada ranking pertama dalam tujuh besar sahabat-sahabat Nabi yang banyak memberikan fatwa, dan orang terdepan membawa panji-panji mazhab ra’y,[18] yang kepergiannya ke hadirat Allah membawa sembilan persepuluh ilmu, menurut Ibn Mas’ud.[19]


Berikut adalah kasus-kasus yang sebenarnya hanya sebagian kecil dari ijtihad Umar.


Kasus Muallaf


Berdasarkan fakta sejarah, golongan muallf terdiri dari orang-orang Islam yang masih lemah imannya dan orang-orang kafir (non Islam) yang diharapkan sesuatu daripadanya. Oleh sebab itulah barangkali, para ahli Hukum Islam, sebagai dilaporkan oleh Rasyid Rida membagi Muallaf menjadi enam macam. Empat macam dari kalangan muslimin dan dua macam dari kalangan Non Muslim.[20]


Yang termasuk dalam golongan Islam adalah:


a. Pemuka-pemuka Muslim yang mempunyai pengaruh di tengah-tengah kaumnya yang masih kafir.


b. Pemimpin-pemimpin yang masih lemah iman, yang dihormati oleh kaumnya.


c. Orang-orang Islam yang berada di perbatasan.


d. Orang-orang Islam yang karena pengaruhnya diperlukan untuk memungut zakat.


Sedangkan orang-orang yang berasal dari non Muslim ialah:


a. Orang-orang yang diharapkan akan beriman dengan adanya bagian muallaf yang diberikan kepada mereka.


b. Orang-orang yang dikhawatirkan tindakan kejahatannya terhadap orang-orang Islam.


Nampaknya bagian muallaf diberikan karena ada tujuan-tujuan dan maksud-maksud tertentu yang sifatnya sangat kondisional. Oleh sebab itulah, ketika kondisi umat Islam sudah kuat dan stabilitas pemerintah sudah makin mantap, Umar menghentikan pemberian bagian muallaf. Umar mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakr, dikala ia masih menjadi khalifah bagi penyumbangan tanah-tanah tertentu pada sejumlah orang atas dasar ini. Umar berpendapat bahwa Rasulullah telah memberikan bagian itu untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan telah berubah maka bagian itu tidak valid lagi.[21]


Dalam kasus muallaf, nampakny Umar, memang tidak melihat ada kemaslahatannya untuk meneruskan pemberian kepada orang-orang yang pernah mendapat sebelumnya. Dan kalau diteliti lebih mendalam perbuatan Umar sebenarnya sejalan dengan kandungan ayat 60 surah al-Taubah.


Berdasarkan penalaran di atas, maka hakikat dari ijtihad Umar, dalam kasus muallaf dapat disebut sebagai ijtihad Tahqiq al-Manath (pemikiran mendalam untuk menegakan tambatan hukum). Penalaran dengan cara ini, menurut al-Syatibi, tidak akan pernah berakhir dan tidak akan putus-putusnya.[22]


Ia tidak bersentuhan langsung dengan nash (teks), karena yang menjadi obyek sesungguhnya adalah ketegasan dan kejelasan hakikat sesuatu yang merupakan gantungan atau tambatan hukum syara’.


Bagi Umar nampaknya tambatan hukum tidak bisa ditegakan pada masanya. Pada dasarnya Islam sudah jauh berbeda dengan masa Rasulullah. Islam sudah kuat dan stabilitas sudah mantap. Pemikirannya tentang implikasi teks telah membawanya untuk menghentikan bagian muallaf. Dari sini dapatlah dipahami bahwa Umar bukanlah berbuat sesuatu yang bertolak belakang dengan Al-Qur’an. Tetapi sebenarnya ia mempertimbangkan situasi yang ada dan mengikuti ruh dan jiwa perintah al-Qur’an.



Kasus Potong Tangan Pidana Pencurian


Secara garis besar pencurian dalam Islam dibagi kepada dua macam: pencurian yang dipidana dengan hukuman potong tangan dan pencurian yang dihukum dengan hukuman ta’zir (hukuman yang diadakan oleh masyarakat atau pemerintah terhadap suatu kejadian tertentu sejauh ketentuannya tidak diterangkan dalam al-Qur’an atau Hadits).


Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap kejahatan pencurian yang diancam dengan hukum potong tangan ialah:


a. pencurinya sudah mukallaf


b. pencurian itu dilakukan atas kemauan sendiri


c. tidak terdapat syubhat (semi milik) dalam harta curian.


Pada prinsipnya setiap kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu kejahatan-kejahatan yang sudah ditentukan sendiri hukumannya oleh al-Qur’an. Dalam melaksanakan eksekusi terhadap kejahatan-kejahatan itu dituntut sikap keras dan tegas, tidak diperkenankan adanya hak-hak istimewa, pandang bulu, koneksi, dan lain sebagainya.


Dalam kasus ini, Umar Ibn Al-Khattab dikabarkan pernah tidak melaksanakan hukuman tersebut sewaktu masyarakat Islam sedang mengalami musibah kekurangan persediaan makanan dan bahaya kelaparan.[23] Peristiwa ini terjadi pada musim kemarau panjang, yang karena kegersangan tanah yang tidak pernah ditimpa hujan selama sembilan bulan terus menerus, bumi berubah menjadi seperti abu, sehingga tahun itu dikenal dengan tahun abu. Diperkirakan tahun abu ini terjadi menjelang akhir tahun kedelapan belas Hijriyah. Pada masa itu Umar seringkali mengucapkan kata-kata yang menggambarkan keyakinan yang begitu besar terhadap keadilan yang penuh dan persamaan yang mutlak antar sesama manusia.


Di samping riwayat di atas, diceritakan pula bahwa Umar juga tidak melaksanakan potong tangan seorang laki-laki yang mencuri suatu barang dari Bait al-Mal. Begitu pula Umar tidak memotong tangan beberapa orang budak yang terbukti karena kelaparan, mereka bersama-sama mencuri seekor unta. Dan sebagai hukuman pengganti Umar membebankan kepada pemilik budak-budak itu untuk mengganti dua kali lipat dari harga unta tersebut kepada pemiliknya.


Jadi bagi Umar tidak selamanya hukuman potong tangan harus dilaksanakan. Penangguhan potong tangan juga dilaksanakan dalam peperangan. Larangan Rasulullah untuk memotong tangan-tangan pencuri dalam peperangan diartikan oleh Umar agar pencuri ketika itu tidak lari dan bergabung dengan musuh. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu jelas mempengaruhi pemikiran Umar dalam menerapkan ketentuan ayat yang menerangkan tentang hukuman potong tangan, sehingga penafsirannya tidak kering dan terpaut dengan teks-teks perundang-undangan dalam Islam. Selain itu pertimbangan Umar tidak melakukan pemotongan tangan juga bertolak dari pengecualian yang ditentukan dalam al-Qur’an terhadap orang yang berada dalam keterpaksaan.[24] Dan kelonggaran yang diberikan terhadap kondisi keterpaksaan berkaitan erat dengan usaha mewujudkan kemashlahatan yang menjadi tujuan dan esensi hukum Islam.


Kasus Rampasan Perang


Dalam sejarah Islam, kontak senjata yang pertama kali terjadi antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin adalah pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah di desa Badr. Dalam peperangan yang terkenal dengan perang Badr ini, kaum Muslimin meraih kemenangan untuk pertama kali pula, setelah sebelumnya dalam waktu yang tidak kurang dari lima belas tahun, mereka mengalami berbagai macam penderitaan, penyiksaan dan pengusiran. Saat itu kaum Muslimin mendapatkan banyak harta yang ditinggalkan pemiliknya. Kemudian timbul pertanyaan untuk siapa harta sebanyak itu. Apakah untuk mereka yang turun ke medan juang, atau juga untuk mereka yang membentengi Rasulullah dari serangan musuh?. Berhubungan dengan hal itu, al-Qur’an telah menegaskan bahwa seperlima dari harta rampasan perang dialokasikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan. Adapun sisanya dibagikan kepada tentara yang ikut dalam peperangan yang jumlahnya disesuaikan dengan peranan dan alat yang digunakan.


Bertolak dari uraian tersebut tidaklah mengherankan kalau berbagai protes diajukan kepada Umar ketika penaklukan besar-besaran terjadi karena dia tidak mau merampas dan membagi-bagikan tanah yang ditaklukan kepada pasukan-pasukan Arab. Namun walaupun demikian tidak bisa dianggap bersikap otoriter, karena dalam kekerasannya, Umar tidak pernah meninggalkan musyawarah dengan para sahabat dalam mengambil suatu keputusan. Dan sikapnya yang tidak mau membagikan tanah-tanah yang telah ditaklukan dia lakukan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat yang lain.


Agaknya dengan berbagai analisa yang telah dikemukakan di atas yang dilengkapi dengan berbagai komentar, akhirnya ditemukan semacam kesimpulan bahwa betapapun suatu hukum dapat berubah secara formal menghadapi perubahan sosial, tapi jiwa dan etik yang mendasari hukum formal itu tetap bertahan dan tidak berubah.



PENUTUP


Hukum dalam Islam selalu diupayakan berakar pada pesan-pesan Allah dalam Al-Qur’an, sebagai wahyu yang paling final dan sempurna, yang sebagian besar telah membawa prinsip-prinsip umum yang bernilai mutlak, yang dapat berlaku sepanjang waktu dan keadaan. Ijtihad adalah upaya pemikiran maksimal manusia yang dilakukan secara sungguh-sungguh dalam menemukan dan menerapkan pesan-pesan Tuhan yang termuat dan tersirat dalam Al-Quran dan Sunnah.


Nabi Muhammad, di samping sebagai Rasulullah yang mendapat wahyu dari Allah, beliau juga sebagai manusia biasa yang membawa berbagai kebijaksanaan dan pendapat yang tidak terlepas dari konteks kesejarahannya. Olah karena itu dalam kedudukannya sebagai uswah hasanah, Rasulullah telah memberi contoh yang baik bagaimana memecahkan persoalan umat melalui penggunaan akal yang tepat. Dan atas dasar didikan Rasulullah itulah, para sahabat telah dikondisikan untuk mampu melahirkan bentuk-bentuk baru dalam memecahkan persoalan yang mereka hadapi.


Di antara sahabat-sahabat yang mendapat kepercayaan adalah Umar Ibn Khattab. Pendekatannya, yang sejak awal lebih banyak bersifat rasional dan intelektual, telah melahirkan pelbagai perubahan hukum secara formal, berdasarkan tuntutan kemaslahatan dan konteks zamannya. Hal itu, merupakan gambaran konkret dan hidup tentang ijtihad Umar, yang dari padanya dapat ditarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan pelbagai masalah hukum sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh Umar Ibn Khattab. Wallahu a’lam bissawab. []


BUKU PUSTAKA


Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz IV, (Mesir: Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, t.t.),


Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Cairo: Maktabah Nahdhah al-Mishiriyyah, Cet. XI, 1975),


Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, Cet. I, 1984).


Ali al-Thanthawi dan Naji al-Thanthawi, Akhbar Umar wa Akhbar ‘Abdullah Ibn Umar, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. I)


Al-Khudari Bek, Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah, (Mesir: Al-Maktabah al-Nijariyah al-Kubra, 1969)


Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, Cet. III, 1973)


Fathi ‘Usman, al-Fikr al-Qanuni al-Islami, (Cairo: Maktabah Wahbah, t.t.)


Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press, Edisi kedua, 1979),


H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill. 1974)


Ibn al-Asir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (Mesir: Dar al-Sya’b, Jilid IV), t.t.


Ibn Hajr, Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Beirut, Dar al-Fikr, Jilid II, 1978),


Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, Cet. II, 1955


Joseph Schact, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendon Press, 1971),


Mahmud Ismail, “Falsafah al-Tasyri’ ‘inda Umar Ibn Al-Khattab” dalam Umar Nazhrah ‘Ashriyyah Jadidah, (Beirut: al-Muassisah al-‘Arabiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, Cet. I, 1973)


Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Junaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. 8, 1986)


Muhammad Anis ‘Ubadah, Umar Ibn Al-Khattab wa al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo, Majlis al-A’la li al-Syuun al-Islamiyyah), t.t


Muhammad al-Khudari Bek, Itmam al-Wafa’ fi Sirah al-Khulafa, (Mesir, Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, Cetakan IX, 1964),


Muhammad ‘Ammarah, Umar wa al-Tasyri’ al-Iqtishadi, dalam Umar Nazhrah ‘Ashriyyah Jadidah, (Beirut: Al-Muassisah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, Cet. I, 1973)


Shobhi Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’i fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kasysyaf li al-Nasyr, 1946)


The New Encyclopaedia Britanica, Jilid III, Edisi 15, (Chicago: The University of Chicago, 1973-1974)

T.M. Hasbi as-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Yogyakarta: IAIN al-Jami’ah al-Islamiyyah al-Hukumiyyah, 1381)






[1]Lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press, Edisi kedua, 1979), hlm. 68. sedemikian pentingnya kedudukan Hukum Islam dalam sejarah maka pengamat Barat, seperti Joseph Schact membuktikan bahwa tidak mungkin untuk memahami Islam. Lihat Joseph Schact, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendon Press, 1971), hlm. 1.


[2]Lahirnya pemikiran logis dalam Hukum Islam yang dipelopori oleh Abu Hanifah di Irak tidak terlepas dari saham Ibn Mas’ud, kata Ahmad Amin. Dan Ibn Mas’ud adalah murid setia Umar Ibn Al-Khattab. Lihat, Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Cairo: Maktabah Nahdhah al-Mishiriyyah, Cet. XI, 1975), hlm. 241.


[3]Lihat Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, Cet. II, 1955, hlm. 342.


[4]Buku yang cukup komprehensif membahas perkembangan hukum Islam pada periode awal ini ditulis pada mulanya sebagai Tesis Ahmad Hasan di bawah bimbingan Fazlur Rahman. Buku ini sudah diterjamahkan, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, Cet. I, 1984). h. 34


[5]H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill. 1974), hlm. 600.


[6]Lihat Ibn Hajr, Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, (Beirut, Dar al-Fikr, Jilid II, 1978), hlm. 518; Ibn Sa’ad, Kitab al-Thabaqat al-Kabir, (Leiden, E.J. Brill, Jilid III, 1904), hlm. 190; Ibn al-Asir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (Mesir: Dar al-Sya’b, Jilid IV), t.t.,hlm. 145.


[7]Muhammad Anis ‘Ubadah, Umar Ibn Al-Khattab wa al-Tasyri’ al-Islami, (Kairo, Majlis al-A’la li al-Syuun al-Islamiyyah), t.t., hlm. 10; ‘Abd al-Muta’al al-Sa’idi, Al-Siyasah al-Islamiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hlm.116.


[8]Muhammad al-Khudari Bek, Itmam al-Wafa’ fi Sirah al-Khulafa, (Mesir, Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, Cetakan IX, 1964), hlm. 64.


[9]Ali al-Thanthawi dan Naji al-Thanthawi, Akhbar Umar wa Akhbar ‘Abdullah Ibn Umar, (Damaskus: Dar al-Fikr, Cet. I)., hlm. 11.


[10]Mahmud Ismail, “Falsafah al-Tasyri’ ‘inda Umar Ibn Al-Khattab” dalam Umar Nazhrah ‘Ashriyyah Jadidah, (Beirut: al-Muassisah al-‘Arabiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, Cet. I, 1973), hlm. 55.


[11]Al-Thamawi, op.cit., hlm. 27. Ahmad Husen, Min Qadaya al-Ra’y fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.t)., hlm. 42.


[12]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru Kesatu, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 4.


[13]Al-Khudari Bek, Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah, (Mesir: Al-Maktabah al-Nijariyah al-Kubra, 1969), hlm. 197.


[14]Lihat The New Encyclopaedia Britanica, Jilid III, Edisi 15, (Chicago: The University of Chicago, 1973-1974), hlm. 625.


[15]Sebuah penilaian yang memerlukan pengkajian lebih lanjut. Lihat Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, Terjemahan Mahbub Junaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. 8, 1986), hlm. 266.


[16]Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, Cet. III, 1973), hlm. 199. Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Mesir: Dar al-Bayan, t.t.), hlm.243-244.


[17]Muhammad ‘Ammarah, Umar wa al-Tasyri’ al-Iqtishadi, dalam Umar Nazhrah ‘Ashriyyah Jadidah, (Beirut: Al-Muassisah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, Cet. I, 1973), hlm. 39.


[18]Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Cairo: Maktabah al-Mahdah al-Mishiriyyah, 1975, hlm. 240-241. T.M. Hasbi as-Shiddieqy, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Yogyakarta: IAIN al-Jami’ah al-Islamiyyah al-Hukumiyyah, 1381) ., hlm. 23.


[19]Lihat Ibn Qaiyyim, op.cit., hlm. 16.


[20]Lihat Rasyid Rida, op.cit., hlm. 494-496. Al-Sabiq, op.cit., hlm. 328-330.


[21]Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan Agah Barnadi, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 107.


[22]Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz IV, (Mesir: Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, t.t.), hlm. 89.


[23]Ibn Qayyim, op.cit., Juz III, hlm. 22. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, op.cit., hlm. 275. Ahmad Hasan, op.cit., hlm. 109. Shobhi Mahmasani, Falsafah al-Tasyri’i fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Kasysyaf li al-Nasyr, 1946), hlm. 167.


[24]Fathi ‘Usman, al-Fikr al-Qanuni al-Islami, (Cairo: Maktabah Wahbah, t.t.), hlm. 56 dan 356.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar